Senin, 27 Juli 2015

Will You Be The One?

I just got this idea and I don’t want to lose it, so here we go.



Rune Factory 3 Fanfiction


“Ghaaaah haaaaah!” seorang pemuda manis berlari kencang keluar dari rumah pohon Sharance. Napasnya memburu dengan wajah nampak menunjukkan keseriusan. Tubuhnya penuh debu dan kotoran, serta noda hitam dari pembakaran. Di pelipis kirinya terlihat jejak darah yang masih sedikit basah, pertanda bahwa luka itu baru didapatnya. Beberapa luka gores dan lebam juga terlihat di beberapa bagian tubuhnya. Tapi semua itu sepertinya dikalahkan oleh keperluan si pemuda yang nampak sangat-sangat penting.

“Oh tidak, bulannya! Aku terlambat! Sialan!” geram si pemuda masih berlari. Ia melewati sebuah kelokan dan beberapa rumah warga. Ia mendecih pelan lalu menggerutu karena kelalaiannya, hingga ia lupa hari ini. Hari yang sangat penting bagi dirinya.

“Sedikit lagi!” matanya mengernyit, sebulir keringat baru saja masuk ke matanya. Tapi ia tidak berhenti.

KNOCK KNOCK KNOCK

Gedoran di pintu rumah yang merangkap toko itu terlalu keras. Mungkin saja Nyonya Hazel dan Karina bisa mendengar gedoran pintu itu. Tapi pemuda itu nampaknya tak begitu peduli. Ia menunggu dengan gelisah di depan pintu, sampai akhirnya kenop pintu itu berputar terbuka.

“Micah? Ada apa malam-malam begini?” Gaius, si pemilik rumah dan blacksmith ditokonya sendiri, itu menatap heran pada pemuda bernama Micah yang tengah ngos-ngosan di depan pintu rumahnya dengan rupa yang berantakan.

“Apa ada monster yang menyerangmu? Dimana dia?” tanya Gaius sampil menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri.

“T-tidak! Tidak ada monster!” jawab Micah cepat. Gaius makin mengernyit.

“Lantas ada ap—“

“A-aku ingin bertemu Raven, kumohon!” potong Micah cepat. Gaius menatap Micah sebentar, kemudian mengangguk dan menghilang dari hadapan Micah. Sayup, ia bisa mendengar Gaius sedang mengetuk pintu kamar Raven, memanggilnya untuk menemui pemuda yang saat ini nampak lebih gelisah daripada yang tadi. Ia sudah berhenti berlari dari sepuluh menit yang lalu, tapi kenapa jantungnya masih berdebar layaknya ia berlari berpuluh-puluh kilometer?

“M-Micah? Ada apa malam-malam begini? Oh ya ampun! Ada apa denganmu?” Raven yang baru saja turun langsung menutup mulutnya melihat penampilan Micah yang sangat berantakan.

“Lukamu! Kau harus segera diobati, Micah!” seru Raven berjalan masuk. Tapi Micah keburu menarik tangannya, menahannya pergi.

“Tidak ada waktu Raven! Cepat ikut aku sekarang!” ujar Micah serius.

“Tapi luka—“

“Ayo pergi, kita akan terlambat!” seret Micah sambil berlari. Raven hanya mampu menatapnya bingung dan mengikuti Micah berlari, dengan tangannya yang masih di genggam oleh Micah.

OoO

Mereka terus berlari, hingga akhirnya udara dingin menyergap tubuh mereka. Raven baru menyadari bahwa Micah menariknya menuju Vale.

“Ah, jangan berlari. Di sini licin. Perhatikan langkahmu Raven!” ujar Micah yang hanya dibalas dengan anggukan oleh Raven. Kemudian mereka berjalan perlahan menuju arah timur. Tangan Micah masih menggenggam erat tangan Raven. Membuat gadis bersurai merah itu memerah pipinya.

“...tanganmu,” ujar Raven singkat. Micah menoleh.

“Tangan? Ada apa dengan tanganku?” tanya Micah. Raven menunduk.

“.........masih menggenggam tanganku.....” jawabnya pelan. Tapi sanggup untuk didengar Micah.

“Kau tidak suka?” tanya Micah kemudian. Membuat langkah Raven terhenti. Dan Micah malah mengeratkan genggamannya.

“...”

“Raven?”

“....aku suka...tanganmu hangat...” ujar Raven sambil mengalihkan pandangannya. Wajahnya sudah sewarna dengan rambutnya. Micah tersenyum.

“Bukan masalahkan? Ayo kita berjalan lagi,” ujar Micah. Raven menurut saja. Ia tak sadar kemana ia melangkah, karena wajahnya selalu ia tundukkan.

“Raven. Kita sudah sampai,” ujar Micah lembut. Raven langsung memandang sekitar. Ini tempat favoritenya. Tempat yang paling ia suka selain sand dunes. Icy Rosebush. Dengan bulan purnama menggantung di angkasa tepat di atas mawar es itu. Membuat cahayanya terpantul cantik. Tangkai mawar yang seperti sulur itu layaknya berlian yang paling mahal. Raven memandangnya tanpa kedip. Ini merupakan pemandangan paling indah yang pernah ia lihat dalam hidupnya.

“Cantik sekali...” gumam Raven tanpa sadar.

“Ya. Cantik sekali.” sahut Micah mengikuti arah pandang Raven. Kemudian ia menghadapkan tubuhnya ke arah Raven.

“Seperti dirimu. Persis seperti dirimu.” sambung Micah yang langsung membuat Raven tersentak.

“...eh?”

“Bunga ini...seperti cerminan dirimu. Kau dingin saat pertama kali bertemu denganku. Susah untuk didekati, layaknya mawar yang memiliki banyak duri. Kau tak peduli dengan sekelilingmu, karena mereka juga tak peduli padamu. Padahal, dibalik itu semua, kau hanya seseorang yang rapuh dan membutuhkan teman. Kau terlalu malu untuk mengakui itu. Kau sama rapuhnya dengan mawar ini, yang hanya terlihat kokoh dari luar. Dan kau tahu apalagi persamaanmu dengan bunga ini? Kau dan bunga ini unik. Tak akan ditemukan di tempat lain. Bunga ini hanya ada disini selamanya. Sementara kau. Hanya ada dihatiku selamanya.” ucap Micah panjang lebar dengan penuh keyakinan. Sorot matanya hanya tertuju pada mata Raven yang saat ini tengah berkaca-kaca.

“Untuk itulah, aku membawamu ke tempat spesial ini. Aku ingin kau menjawab pertanyaanku. Tapi kau harus menjawabnya dari hatimu,” lanjut Micah sambil merogoh kantung celananya. Ia kemudian mengeluarkan sebuah kotak kecil berlapis beludru putih cerah dan membuka kotak itu. Nampak di dalamnya sebuah cincin perak bertahtakan batu rubi sedang tertanam diantara kain di dalam kotak itu. Micah pun berjongkok di hadapan Raven yang hanya bisa terdiam, seraya berkata

“Menikahlah denganku. Isilah hari-hariku yang datar ini menjadi penuh gelombang. Temani aku dalam menghadapi waktu. Izinkan aku membahagiakanmu. Sekali lagi, mau kah kau menikah denganku?” tangan kanan Micah meraih cincin itu, lalu mengarahkannya ke hadapan Raven.

Raven tak bisa berkata apapun. Pikirannya tiba-tiba kosong. Bibirnya kelu untuk mengucapkan sesuatu. Tubuhnya bergetar pelan. Matanya berkaca-kaca dengan jemari menutupi mulutnya. Uap panas menguar dari sela-sela jarinya. Bibirnya kemudian terkatup, terlalu susah untuk mengatakan yang ada dibenaknya sekarang. Isi perutnya terasa seperti kupu-kupu yang berterbangan. Berputar dan membuat rasa geli.

“A-aku...” ucapan Raven tergagap. Ia menggigit bibirnya dalam diam. Micah memandang Raven dengan tatapan teduh. Masih dengan sabar menunggu jawaban Raven dengan senyum lembut di bibirnya.

“...Tentu saja. Aku mau menikah denganmu...” jawab Raven setelah menghembuskan napas panjang. Senyuman Micah melebar. Diraihnya jemari lentik Raven, kemudian memasangkan cincin itu di jari manis Raven.

Micah bangkit dari posisinya, kemudian menggenggam tangan Raven erat. Menatap wajah cantik gadis dihadapannya yang telah lama mengisi kekosongan hatinya.

“Aku mencintaimu,” tukas Micah dengan tangan bergerak untuk menyingkirkan helai rambut di wajah Raven. Menyampirkannya pada telinga Raven dan membuat wajah cantik gadis itu makin terlihat. Raven menunduk dalam. Tak berani menatap mata bermanik safir dihadapannya.

‘Ini...bukan mimpi ‘kan?’ batin Raven. Sebulir air mata bahagia pun meluncur cepat dari matanya ketika ia mendongak, membalas tatapan Micah yang masih setia menggenggam tangannya.

“...aku juga mencintaimu.” balas Raven penuh keyakinan. Bulir air mata yang lain pun menyusul. Berjatuhan ke tanah berlapis es bening yang berkilau. Micah tertegun mendengar jawaban Raven yang tidak seperti biasanya. Jawaban yang membuat hatinya hangat dan sanggup mengalahkan dinginnya Vale ini.

Tanpa ia sadari, kedua tangannya meraih tubuh Raven. Merangkulnya dalam dekapan hangat yang penuh rasa cinta. Menyandarkan kepalanya pada bahu Raven. Tubuh gadis itu menegang kaget, tak terbiasa dengan sentuhan orang lain. Tapi akhirnya Raven membalas pelukan itu dan menyandarkannya pada dada bidang Micah.

“Terima kasih Raven. Terima kasih untuk jawabanmu. Aku berjanji akan membuatmu bahagia jika bersamaku. Aku berjanji tidak akan pernah membuatmu kesepian. Dan aku berjanji akan selalu melindungimu dan menjagamu disisa akhir hidupmu,” bisik Micah di telinga Raven. Gadis itu makin mengeratkan pelukannya pada tubuh pemuda berambut pirang itu. Bahunya berguncang pelan dengan air mata haru yang tak bisa berhenti. Perlahan, Micah melepaskan pelukannya lalu menarik dagu Raven. Menghapus air mata yang mengalir di pipi putih Raven.

“Terima kasih Raven. Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu.” bisiknya singkat, kemudian mengecup kening Raven dengan lembut.

Angin dingin berdesir halus di tempat itu. Bulan sudah mulai beranjak dari posisi cantiknya tadi. Malu melihat kemesraan mereka. Membuat mawar es itu tak terlalu berkilau. Cahaya dari bintang-bintang angkasa masih berkedip. Seperti memandangi kedua insan itu dengan iri dan juga bahagia. Sebuah mawar paling indah di puncak rosebush pun turut berkilau terang. Layaknya menyetujui hubungan mereka berdua yang masih diam diposisi yang sama.

OoO

“Kau tau Raven? Hari ini kau banyak bicara,” celetuk Micah yang tangannya sedang menggandeng tangan Raven. Mereka sedang berjalan untuk kembali ke rumah Raven. Berjalan perlahan seperti takut jika sampai ditujuan dengan cepat, mereka akan berpisah.

“B-benarkah?” tanya Raven malu. Micah tersenyum hangat.

“Ya. Dan aku suka itu,” jawab Micah nyengir. Raven mengalihkan pandangannya.

“Gombal...” gumam Raven. Micah nyengir lebar.

“ Ngomong-ngomong, aku ingin bertanya. Apa yang terjadi denganmu? Maksudku, luka di pelipismu, baju yang penuh noda hitam itu, kau benar-benar berantakan Micah,” tanya Raven berhenti melangkah. Micah tergagap sejenak sebelum menggaruk kepalanya salah tingkah.

“Eeeeh, hahahaha, M-maafkan aku sebelumnya. Aku tidak bilang terlebih dahulu soal penampilanku. Sebenarnya aku sudah merencanakan ini dari jauh-jauh hari. Menunggu ketika bulan purnama muncul tepat di atas rosebush. Tapi aku nampaknya terlalu asyik menerima permintaan dari warga kota hingga aku lupa hari ini. Cincin itu baru sempat kuselesaikan kemarin, tapi aku lupa mencari batu rubi. Sambil menerima permintaan Nyonya Shino, aku juga pergi mencari rubi. Nampaknya aku terlalu fokus pada batu itu, sehingga aku lengah dan mendapat luka ini dari monster,” ujar Micah seraya menunjukkan pelipisnya.

“Aku mengerjakan cincin itu tadi sore, dan baru selesai ketika bulan sudah di tempat yang pas. Makanya aku terburu-buru datang ke rumahmu dan mengajakmu ke rosebush. Aku tak sempat membersihkan tubuhku, dan ya, aku tahu ini bukan penampilan yang cocok untuk meminang seorang gadis, jadi, maafkan aku...” sambung Micah masih salah tingkah. Raven mendengarnya tanpa berkedip. Kemudian terkikik geli dengan ekspresi Micah. Raven lalu menghampiri Micah dan mengecup singkat pipinya.

“Baiklah, kita harus pulang. Aku takut Gaius khawatir kalau adiknya diculik oleh orang ceroboh sepertimu...” ucap Raven sambil berjalan mendahului Micah. Pemuda itu tertegun dengan tangan mengusap bekas kecupan Raven. Sebelum akhirnya berlari menyusul Raven dan menggandeng tangan gadis itu lagi.

“Baiklah, ayo!”



A/N: Fiction yang lahir karena authornya frustasi, level buat bikin engagement ring berhenti di level 12. Authornya kebelet Micah nikah sama Raven. Authornya banting stir jadi tukang bikin romance ketimbang misteri/horor/thriller. Terima kasih sudah membaca.